Selasa, 17 Juni 2008

novelku (Tarian Cinta)

Dahlia seorang penari, dan di antara kelima temannya, dialah yang paling manis. Tapi, bukan lantas karena itu Aiman dan Bilal secara bersamaan menyukai Dahlia. Juga, bukan karena itu Mbah Jalaluddin Rumi, ayahnya Aiman berusaha membela Dahlia ketika Kiai Umar dan ormas Islam lainnya menyudutkan Dahlia dengan tariannya.
Melainkan karena Dahlia adalah perempuan yang dipenuhi dengan cinta.

Cinta kemuliaan, membuatnya rela membanting tulang menghidupi ibu dan seorang adiknya yang masih sekolah. Cinta kebaikan, membuatnya selalu ingin belajar untuk jadi lebih baik. Dan cinta ketulusan, membuatnya selalu kuat dengan kenyataan sepahit apa pun. Sepahit ketika ia harus menentukan pelabuhan cintanya, pada Bilal ataukah Aiman? Dua orang cowok yang sama-sama membuat Dahlia bisa menari dengan tarian cinta.
Di antara balutan kisah cinta itu, dengan smart penulis memasukkan konsep tentang seksualitas perempuan. Sebuah sikap penolakan atas sterotipe perempuan sebagai objek yang bisa dimanfaatkan oleh lawan jenisnya. Padahal persoalan sebenarnya tidak terdapat pada tarian Dahlia, tetapi pikiran dan imajinasi para penikmat tariannya.


Judul Asli novel ini ; Kiai Tawuran, terisnpirasi dari sebuah fenomena rusaknya para ulama di negri ini

resensi bukuku (Gus Dur Asyik Gitu Loh) 2

5 bintang untuk buku ini
Category: Books

Judul Buku : Gus Dur…Asyik Gitu Loh
Penulis : Maia Rosyida
Penerbit : The WAHID Institute
Tahun Terbit : 2007
Jumlah Halaman : 98 hlm


Oleh Nurun Nisa, staf redaksi the WAHID Institute
Keliru besar kalau Anda menyangka bahwa Gus Dur cuma pujaan khusus kalangan dewasa dan orang-orang politik saja. Mau bukti? Buku bertitel Gus Dur…Asyik Gitu Loh akan membalikkan anggapan Anda selama ini.
Gus Dur Asyik

Buku karya Maia Rasyida, siswi Sekolah Menengah Universal (SMU) Qaryah Thayyibah, ini membingkai kekaguman remaja terhadap sosok Gus Dur dengan bahasa khas anak gaul sekarang. Namun isinya tetap bernas.

Ini dapat dicermati dari lembar-lembar tulisannya. Di awal, misalnya, kita bisa melihatnya dengan baik dalam soal penggambaran fisik Gus Dur.

“Gus Dur itu ganteng? Setuju banget. Tepatnya, good looking abis. Rasanya nggak perlu lagi sibuk hunting cowok muda yang segar dan punya perut six pack. Gus Dur (memang) jika dilihat dari struktur wajah mungkin masih boleh dibilang kalah jauh sama Brad Pitt atau aktor siapalah itu yang bisa bikin cewek-cewek yang ngelihat langsung teriak histeris. Diliat dari postur badan juga boleh dikatakan Gus Dur masih jauh dari sempurna….Tapi kenapa kita bisa lebih betah mandangin wajah Gus Dur daripada para icon cover boy yang banyak nampang di majalah remaja itu?” (hlm. 11)

Dara kelahiran 1987 ini punya jawabnya. Gus Dur enak dipandang sebab beliau memiliki segudang kharismatik dan inner beauty luar biasa. Tak lain ia adalah seorang intelektual yang menata hidupnya dengan akhlak dan selalu disirami dengan ilmu. Waktu SD saja Gus Dur sudah akrab dengan karya-karya Karl Marx, catatan-catatan pemikir Marxisme, dan berbagai macam buku filsafat.

Kita dapat pula membaca komentar Maia terhadap pembelaan Gus Dur atas goyangan Inul yang kontroversial itu.

“Sikap Gus Dur membela Inul dari kecaman orang-orang yang mengaku Islam adalah cerminan sikap Rasulullah. Rasulullah gak perlu pake kekerasan ketika mendidik umatnya yang masih belum tau. Karna Gus Dur tau betul Inul itu belum begitu tau agama, maka dia mengayominya dengan cara yang kalem. Menunjukkan begitulah Islam. Mengajak berpikir, tak boleh keras, dan sangat menghormati perbedaan pemikiran,” (hlm. 39).

Sikap bijak Maia ini, bagi penulis, melebihi kadar usianya. Bahkan melampaui penentang Inul, yang sebagiannya, terang benderang tidak menunjukkan kematangan usia mereka dalam merespon isu yang sama. Mereka tak mampu menyampaikan perbedaan pendapat dengan santun. Cuma berani unjuk kekuatan saja layaknya preman (berjubah).

Lain lagi soal korupsi. Maia prihatin betul dengan korupsi dan pengadilan yang tak kunjung unjuk gigi. Maia salut dengan gaya Gus Dur yang potong kompas demi mengamputasi budaya korupsi secara radikal.

“Korupsi udah nggak mau tau tempat lagi. Ini mungkin satu hal yang yang menyebabkan negeri ini menjadi hopeless untuk bisa bersih...pengadilan juga udah banyak yang punya dwifungsi. So..biar pengadilan jadi layak disebut adil dan terpercaya, kira-kira gimana yah caranya? Nggak ada harapan banget nih. Kuncinya emang pemimpin mesti tegas dan bersih. Berani dan tanggung jawab dunia wal akherat. Kaya’ Gus Dur ajalah. Santai gitu. Tinggal pecat sana pecat sini. Asyik tuh. Nggak bertele-tele dan habis. Meski beresiko tinggi, ya emang begitu kan resikonya jadi orang jadi orang nomor satu? Begitu kan resikonya seorang pembela kebenaran?” (h. 52).

Mendengar ini, para politikus, aparat penegak hukum, dan tentu saja para koruptor itu sendiri selayaknya merenung. Atau malah malu. Sebab, remaja yang masih bau kencur saja tahu dan bisa memilih yang terbaik; bahwa kebenaran dan kebersihan mestilah dijadikan pegangan hidup seperti dipraktikkan Gus Dur. Bukan berlindung di balik kebohongan atau justru menggadaikan diri dengan kekuasaan. Padahal, mereka tahu perkara ini lebih dalam dan lebih banyak ketimbang seorang remaja seumuran Maia. Tapi mereka tak mau melakukannya.

Buku setebal 98 hlm ini layak baca untuk semua kalangan. Diksinya renyah—namun tak sampai jatuh pada kegenitan remaja yang kadangkala membikin tulisan menjadi barisan kosakata prokem yang tak ada isi sama sekali.

Meski begitu, ia tetaplah buku bergizi tinggi. Ini dapat dilihat dari rujukan pendapat Maia; mulai dari puisi-puisi Gus Mus, cerita-cerita Abu Nawas, Sirah Nabawiyah sampai kaidah-kaidah fiqhiyyah yang lumayan rumit.

Buku ini gue banget buat para teman remaja. Para orang tua tidak perlu khawatir membaca buku ini. Dijamin tidak akan merasa digurui. Justru mereka dijadikan teman bicara yang setara. Wallahu A’lam.

resensi Gus Dur Asyik Gitu Loh 1

Budaya

RESENSI BUKU: Gus Dur yang Humoris, Kontroversial, dan Gaul
Oleh : Djuneidi Saripurnawan

18-Des-2007, 14:14:43 WIB - [www.kabarindonesia.com]
Judul Buku: GUS DUR,.. Asyik Gitu Loh
Penulis: Maia Rosyida
Penerbit: The Wahid Institute
Tahun: September 2007
Tebal dan ukuran: viii+100 hlm, 14 x 21 cm


KabarIndonesia - Jauh sebelum Gus Dur alias Abdurrahman Wahid menjadi presiden RI ke-4 pada masa reformasi, pertemuanku dengan Romo Mangunwijaya di gang Kuwera, Yogyakarta, sempat menyinggung tentang ketokohan Gus Dur yang diterima secara luas oleh banyak kelompok dan golongan.

Romo Mangun sempat bertanya tentang ‘kenapa Gus Dur tidak jadi presiden aja?’ Apa jawabannya? Bila memang harus demikian, nanti dengan sendirinya… Kemudian Romo Mangun memberikan sedikit tanggapannya, bahwa seorang Gus Dur akan menjadi sempit ruangnya bila menjadi pejabat seperti presiden, karena dia sudah tumbuh cepat menjadi ‘resi” bagi banyak orang.

Ya, sebagaimana banyak pihak yang mendaulatnya sebagai Guru Bangsa, guru bagi semua warga negara Indonesia. Orang seperti ini memang masih langkah di Bumi Indonesia.Orang yang melindungi kaum minoritas (baca: Tionghoa) di Indonesia dari diskriminasi dan perlakuan yang semena-mena oleh penguasa dan tersudutkan dalam dunia politik.

Pluralisme adalah pemahaman yang dikembangkan oleh Gus Dur dalam membangun bangsa ini menjadi bangsa yang besar, meskipun perubahan menjadi bangsa yang besar itu masih menemukan banyak kendala, karena kedewasaan memang tidak bisa disama-ratakan bagi semua pihak. Dalam hal ini, Gus Dur memang menjadi ‘wali’ dan Bapak Pluralisme Indonesia; begitulah banyak pihak mengakuinya.

“Punya agama tapi nggak mau keberagaman. Jelas ini adalah contoh satu umat yang nggak layak dibilang Islam. Karna percuma juga kalo kita nggak ngerti keberagaman dunia dan seisinya. Ilmu masalah semesta yang udah kita dapet nggak bakalan ada manfaatnya, jika kita cuman tau tentang satu hal…”(hlm.86). Bahwa masalah diskriminasi keturunan sampai kapan pun nggak akan bisa bikin bangsa ini bersatu (hlm.69).

Maia Rosyida menyajikan secara sederhana nan lugas tentang kisah seputar Kontroversial Gus Dur yang menjadi pusat perhatian umat Islam dan masyarat Indonesia umumnya. Sosok Gus Dur yang selalu ditunggu ungkapannya, yang selalu sarat dengan makna dan tentunya yang terkemas dengan sense of humor yang tinggi. Inilah yang membuat penulis Maia Rosyida jatuh hati pada Gus Dur.

“Gus Dur itu PKI!” seru beberapa kelompok masyarakat. “Gus Dur itu Wali!” teriak sebagian yang lain. Kejadiannya waktu itu Gus Dur sedang dengan tegas menolak adanya Tap MPR yang tidak memperbolehkan ajaran komunisme di Indonesia. Alasanya jelas: bahwa negeri ini punya prinsip berbeda-beda tetapi tetap satu (Bhinneka Tunggal Ika). Pada tuduhan “antek PKI”, Gus Dur memberikan jawaban “Komunis itu bukan PKI (Partai Komunis Indonesia). Ya, masak kalo liat yang ada di PPPdan nengok gambar ka’bah pada spanduk partai itu, lalu kita langsung menyimpulkan kalo Islam itu ya PPP itu. Jelas ini salah paham total.” Yang dimaksudkan Gus Dur bahwa komunis itu bukan PKI, sebagaimana Islam itu bukan partai Islam. Partai Islam dan Islam jelas beda(hlm.36).

Ketika Inul Daratista, penyanyi dangdut yang terkenal dengan goyang “ngebor”-nya dihujat oleh berbagai pihak dan dianggap haram (meskipun sebenarnya lebih banyak disukai masyarakat umumnya), Gus Dur justru membelanya, sebagaimana Rasulullah tidak perlu memaksa pakai kekerasan ketika mendidik umatnya yang awam. Apa kata Gus Dur tentang Inul? “ Lha wong lagi cari makan, mbok biarin. Itu haknya dia.”(hlm.38).

Begitulah cara Gus Dur memberikan cara pendekatan yang sejuk dengan canda intelektualnya, sebagaimana juga ketegangan yang terjadi antara group band DEWA (Dhani) dengan kelompok yang menamakan Front Pembela Islam (FPI). Gus Dur sekali lagi tampil sebagai penyeimbang dan memberikan contoh yang santun dalam meluruskan sesuatu yang dianggap masalah.

Gus Dur memang harus berjuang menghadapi orang-orang yang mau menangnya sendiri, karena terjebak dengan keyakinan yang menganggap paling benar sendiri. Ia tidak setuju bila negara ini di-arabisasikan. Apalagi ketika ada usulan untuk peraturan yang mewajibkan hukuman mati bagi orang Islam yang keluar dari agamanya (murtad). Ini hanya mengotori nama Islam saja. Lafadz “La ikraha fi al-din” sudah banyak yang melupakannya(hlm.43). Berhasil membuat orang takut dan terkekang dengan atas nama ‘kebaikan Islam’ adalah sesat.

Kontroversi yang paling ramai hingga melibatkan protes dari lima ratus ulama Indonesia adalah ketika Gus Dur mengatakan bahwa ‘Al-Qur’an sebagai kitab suci paling porno sedunia’. Dan Gus Dur seperti biasa melihat dan membiarkan respon itu untuk sementara waktu. Kemudian ketika suasana sudah sejuk, Gus Dur mengatakan “Al-Qur’an kitab suci paling porno. Ya kan bener di dalamnya ada kalimat menyusui. Berarti mengeluarkan tetek. Ya udah, cabul kan?”

Ketika ramai-ramai orang berteriak: “musnahkan pornoaksi dan pornografi di negeri ini karena tidak sesuai dengan syariat Islam”, Gus Dur memberikan contoh tentang Kitab Raudlatul Mu’aththar untuk meluruskan pengertian dari kata porno itu sendiri yang sudah keliru dipahami orang-orang itu. “Anda tahu, Kitab Raudlatul Mu’aththar (the perfumed Garden, kebun wewangian)? Itu merupakan kitab Bahasa Arab yang isinya tata cara bersetubuh dengan 189 gaya, ha-ha-ha…Kalau gitu, kitab itu cabul dong?”

Intinya, bahwa Al-Qur’an, Kitab Raudlatul Mu’aththar atau pun Inul yang sedang menyanyi dan berjoget ria bila dibaca dan dilihat dalam perpektif ngeres ya hasilnya pasti cabul bin porno.

Kehidupan ini adalah keberagaman yang ada dan karenanya menjadi indah bila damai bersamanya. Kenapa harus memaksakan menjadikan semuanya satu warna. Hidup pasti akan lebih dari sekedar robot yang sangat membosankan. Dan manusia bukanlah robot, melainkan makhuk yang mulia dengan akal-budinya.
Dan bagaimana Gus Dur menjawab pertanyaan tentang hukum orang Islam yang mengucapkan selamat pada hari perayaan Natal? Kata Gus Dur: “Kita jangan cumin mengucapkan selamat. Baiknya kita ikut merayakan. Lha kan Natal itu Mauludnya Nabi Isa.” Cob baca Al-Qur’an pada Surat Maryam yang banyak penjelasan tentang kelahiran Al-Masih dan peristiwa Natal. Dan do’a Nabi Isa sewaktu bayi membuktikan bahwa keagungan Allah menjadikan Nabi Isa bisa terlahirkan tanpa seorang ayah: “Salam sejahtera (semoga) dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku, hari wafatku dan pada hari ketika aku dibangkitkan hidup kembali.” (hlm.62).

Di antara cerita tentang Gus Dur yang kontroversial tetapi selalu ada aspek humornya yang intelektual, membuat buku ini memiliki magnet bagi banyak kalangan.

Ketika Gus Dur di Pesantren Tegalrejo: “Semua presiden itu KKN kok. Persiden pertama Kanan Kiri Normal. Presiden kedua Kanan Kiri Nyolong. Presiden ketiga Kecil-Kecil Nekat. Dan presiden keempat, saya sendiri juga diem-diem KKN, alias Kir Kanan Nuntun.”

Dan saat pidato di Jerman dimana hadir juga mantan presiden RI B.J. Habibie: “Pak Karno itu presiden yang negarawan, pak Harto hartawan, pak Habibie ilmuwan, sedangkan saya sendiri wisatawan.”(hlm.73).

Ketika konflik di Ambon terjadi dan Gus Dur tidak setuju dengan orang-orang yang ke Ambon bawa senjata dan niatnya berkelahi tapi atas nama jihad. “Mau jihad kek, mau jahit kek. Pokoknya kalau ada yang bawa senjata ke Ambon, musti segera ditangkep,” tegas Gus Dur(hlm.96). Dan “Tuhan itu tidak perlu dibela.”
Masih banyak hal-hal yang menarik dalam buku ini. Semua tentang Gus Dur dan kehidupan kita dalam konteks bernegara dan bermasyarakat. Dalam upaya membangun budaya masyarakat bangsa Indonesia yang bisa dibanggakan (?) Amin….!

Sosok Gus Dur yang cerdas, mendalam, jenaka (humoris yang intelek), bersahaja, akrab dan terbuka pada semua kalangan, berpihak pada orang kecil, dan mengikuti perkembangan zaman telah membuat Gus Dur tampil sebagai sosok kiyai yang nyentrik dan gaul.

Begitulah Maia Rosyida (penulis buku ini) jatuh hati pada Gus Dur karena gantengnya benar-benar dari inner beauty-nya.
“Semua tulisan di atas tak ada maksud untuk melebih-lebihkan Gus Dur dari yang lain. Melainkan cuma pengin ngasih tau aja, bahwa begitulah contoh ulama yang baik di era yang katanya udah demokratis ini. Contoh ulama yang selalu baca Al-Qur’an dulu sebelum ‘berperang’” tulis Maia dalam lembaran terakhirnya.
Buku yang ditulis dalam bahasa gaul ini memang sangat cocok untuk anak-anak seusia SMP, SMA, bahkan Mahasiswa yang cenderung terjebak dalam formalitas.

Bacaan yang baik adalah bacaan yang minimal bersifat informatif (banyak pengetahuan baru) dan membuat orang berpikir. Nah, buku ini memuat keduanya, bahkan ditambah dengan sense of humor yang cerdas.

Djuneidi Saripurnawan
Research and Development Coordinator
Plan International Aceh

Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/
Alamat ratron (surat elektronik): redaksi@kabarindonesia.com
Berita besar hari ini...!!! Kunjungi segera:
www.kabarindonesia.com
SEKOLAH ITU NGGAK PENTING KOK,,,

Kita ke sekolah untuk belajar kan? Bukan buat yang lain-lain?

1. Sabda Rasulullah; Belajar adalah mulai dari kita lahir hingga kita mati, yang berarti kalo itu kita menanti kelulusan, sama aja kita sedang menanti kematian

2. Sekolah Itu Candu, yang artinya kalo udah lulus kita pengennya sekolah
lagi
dan lagi. Semisal kita dapet sekolah favorit, selanjutnya kita pengen yang lebih favorit dan lebih favorit lagi, yang pada akhirnya memaksa kita untuk terhipnotis kepada ‘nama sekolah favorit’. Lama-lama kita terjebak bahwa kalo kita udah dikirim ke luar negri itu artinya kita pinter dan dihargai. Sebaliknya, menurutku hal semacam itu adalah sebuah bentuk pengusiran secara halus. Semakin kita rangking satu, semakin kita meninggalkan kampung halaman tercinta.

3. Sekolah favorit itu tidak profesional, yang berarti hanya mau menerima siswa yang sudah terbukti bernilai tinggi secara rapor. Itu sama halnya mereka telah menunjukkan jati diri yang pengecut dan penakut. Karna mereka hanya berani menerima tawanan yang secara otak kiri sudah matang. Mereka takut belajar dengan orang-orang bodoh. Lalu, apa gunanya menerima orang-orang yang sudah ‘dianggap pintar’. Pantaskah itu disebut sekolah favorit?

4. Belajar itu harus sesuai dengan kebutuhan dan belajar itu adalah sistem memecahkan masalah. Belajar yang tidak sesuai dengan kebutuhan berarti hanya basa basi dan buang-buang waktu belaka. Mengerjakan sesuatu yang tidak jelas manfaatnya, tentu akan berdampak tidak baik. Dan fenomena berhentinya belajar gara-gara bencana alam atau ketiadaannya gedung tinggi berarti tidak memenuhi devinisi bahwa belajar adalah untuk memecahkan suatu masalah. Padahal belajar adalah memecahkan masalah, yang berarti kita harus terus belajar dalam kondisi segawat apa pun.

5. Belajar itu wajib dan berlaku bagi si miskin dan si kaya. Menjadi sangat memprihatinkan bila yang dimaksud kewajiban belajar adalah segala macam kegiatan yang ada di sekolah dan serba memakan biaya mahal. Kasian yang miskin. Kalo udah kek gini, apakah yang miskin jadi dosa karna tidak belajar? Tentu saja enggak. Karna makna belajar tidaklah sesempit itu.

6. Sekolah mengajarkan kita untuk selalu memusuhi teman. Ini sangat jelas terlihat. Kita dididik untuk selalu bersaing dan sekolah berhasil membuat pola pikir anak-anak bangsa menjadi selalu ingin menang bagai penjajah. Kita selalu pengen nomor satu dan jadi juara, yang artinya kita menganggap semua yang ada di kelas, selain kita adalah musuh. Bullshit dengan kata-kata persaingan sehat. Persaingan itu tidak ada yang sehat. Yang sehat adalah dimana kita yang masing-masing sudah dikaruniai kelebihan sama Allah ini bisa saling berbagi kelebihan dan belajar satu dengan yang lain. Ajaran agama yang satu ini bertujuan untuk menjauhkan kita dari permusuhan dan menyadarkan kita bahwa sesungguhnya tidak ada manusia pintar dan bodoh, karna sesungguhnya semua itu datang dari Allah dan kepintaran hanya milikNya.

7. Di sekolah kita hanya mendapatkan ilmu secara terbatas atau limited edition. Kita dikenalkan dengan sebuah benda yang bernama BUKU PAKET atau BUKU PELAJARAN. Pengenalan yang pada akhirnya mengajarkan kepada kita bahwa selain benda di atas, bukanlah buku pelajaran. IRONIS!
Kita satu kelas dipaksa beli setiap tahun. Padahal kalo boleh mengamati, setiap tahun bahasanya hampir sama dan cuman beda kovernya aja. Menyedihkan,,, hiks hiks,,,
Belum gitu, waktu belajarnya ditentuin bel lagi. Guru datang dan pulang mesti sesuai bel. dan anehnya-menurut pengalaman pribadi-, aku pernah nanya suatu hal ke guru dan guru itu bilang;
"Udahlah, pertanyaanmu itu nggak penting untuk kujawab. Nggak bakalan keluar di ujian kok!"
WHAT???!!! Segitu terbataskah ilmu yang kita dapat di dalam kelas, atau lebih tepatnya di dalam sebuah kerangkeng penjara atas nama KELAS? Oh... NOooooo!!!!!!!!!!!

8. Sekolah menakuti-nakuti dengan sebuah ajang kelulusan. Padahal sebenarnya kalimat lulus atau tidak lulus sekolah itu masih lebih pantas jika diganti dengan kata beruntung dan tidak beruntung. Keadaan pendidikan kita sudah semacam lotre. Aku yakin, pihak birokrat sebenernya udah tau bahwa sistem beginian salah besar. Tapi karna mereka semua butuh duit, ya udah de…. Sikaaaaaattttt!!!

9. Soal-soal di ujian cuman berkisar antara 40-60 soal. Padahal kamu semua tau kan, kalo persoalan di dunia ini milyaran, bukan cuman yang muncul di kertas ujian yang bisa dibikin bungkus kacang itu. Menyedihkannya lagi, kalo kita udah langsung dianggap goblok hanya gara-gara tidak bisa mengerjakan soal-soal yang hanya secuil itu, padahal sebaliknya, kita mungkin bisa menjawab jutaan persoalan daripada yang hanya ada di dalam materi ujian itu. Sungguh, makna siswa pintar ternyata sangat sempit, sesempit gudang tikus di mata negri ini.

10. Sekolah ujung-ujungnya cuman ijasah, yang artinya generasi kita dididik untuk tidak mandiri. Mereka menjadi terbiasa bergantung kepada orang. Padahal menurutku sebenarnya mencari ijasah itu sama aja mencari majikan. Padahal,,, taukah kamu? Para pemilik lembaga bimbingan belajar itu juga pada nggak punya ijasah dan nggak ngedukung adanya ijasah untuk kepentingan pribadi. Sadarkah kalian jika kita sebenarnya sedang menjadi korban pembeli dalam sistem perdagangan yang dikasih judul, PENDIDIKAN?
Aku yakin, selama masih ketergantungan sama ijasah, sampai kiamat pun, generasi di bangsa ini nggak akan pernah jadi generasi yang mandiri dan itu artinya kita akan terus ngemis-ngemis kepada negara lain selamanya. HIks,,, sedih. Padahal kan, selembar daun pisang aja diluar negri dibeli seharga 60.000 rupiah Indonesia.

Sebenernya masih banyak banget yang pengen aku bahas tentang begitu tidak pentingnya sekolah. Tapi ini dulu aja kali ya. Kalian semua boleh nanya atau nanggepin hal-hal yang kurang jelas. Sekali lagi, nggak ada kamus anak pintar dan bodoh dalam hidupku. Masing-masing dari kita udah kejatahan potensi. Sekarang giliran kitanya yang mau saling berbagi apa enggak.
Penjelasan bahwa setiap manusia tidak ada yang lebih pintar mungkin bisa kamu buka pada surat Kahfi yang menceritakan tentang nabi Musa dan nabi Khidir yang masing-masing dari keduanya sudah dikasih kelebihan sendiri-sendiri dari Allah SWT, dan keduanya mau saling belajar satu dengan yang lain.

Catatan kecil; sejarah adanya sekolah itu berasal dari Yunani, yang arti harfiahnya waktu luang. Metode yang terjadi adalah dimana anak belajar dengan lingkungan keluarganya sendiri. Kemudian berkembang terus hingga terciptalah metode yang begitu dinamis sampe seperti yang terjadi di negri barat hingga kini. Mereka menyebutnya dengan sekolah regular atau sekolah formal.

Sekarang yang pantas dipertanyakan; Pantaskah sistem formal yang hingga saat ini masih eksis di negara-negara maju itu diterapkan di negara kita yang sebenarnya kaya tapi miskin?