Selasa, 17 Juni 2008

resensi bukuku (Gus Dur Asyik Gitu Loh) 2

5 bintang untuk buku ini
Category: Books

Judul Buku : Gus Dur…Asyik Gitu Loh
Penulis : Maia Rosyida
Penerbit : The WAHID Institute
Tahun Terbit : 2007
Jumlah Halaman : 98 hlm


Oleh Nurun Nisa, staf redaksi the WAHID Institute
Keliru besar kalau Anda menyangka bahwa Gus Dur cuma pujaan khusus kalangan dewasa dan orang-orang politik saja. Mau bukti? Buku bertitel Gus Dur…Asyik Gitu Loh akan membalikkan anggapan Anda selama ini.
Gus Dur Asyik

Buku karya Maia Rasyida, siswi Sekolah Menengah Universal (SMU) Qaryah Thayyibah, ini membingkai kekaguman remaja terhadap sosok Gus Dur dengan bahasa khas anak gaul sekarang. Namun isinya tetap bernas.

Ini dapat dicermati dari lembar-lembar tulisannya. Di awal, misalnya, kita bisa melihatnya dengan baik dalam soal penggambaran fisik Gus Dur.

“Gus Dur itu ganteng? Setuju banget. Tepatnya, good looking abis. Rasanya nggak perlu lagi sibuk hunting cowok muda yang segar dan punya perut six pack. Gus Dur (memang) jika dilihat dari struktur wajah mungkin masih boleh dibilang kalah jauh sama Brad Pitt atau aktor siapalah itu yang bisa bikin cewek-cewek yang ngelihat langsung teriak histeris. Diliat dari postur badan juga boleh dikatakan Gus Dur masih jauh dari sempurna….Tapi kenapa kita bisa lebih betah mandangin wajah Gus Dur daripada para icon cover boy yang banyak nampang di majalah remaja itu?” (hlm. 11)

Dara kelahiran 1987 ini punya jawabnya. Gus Dur enak dipandang sebab beliau memiliki segudang kharismatik dan inner beauty luar biasa. Tak lain ia adalah seorang intelektual yang menata hidupnya dengan akhlak dan selalu disirami dengan ilmu. Waktu SD saja Gus Dur sudah akrab dengan karya-karya Karl Marx, catatan-catatan pemikir Marxisme, dan berbagai macam buku filsafat.

Kita dapat pula membaca komentar Maia terhadap pembelaan Gus Dur atas goyangan Inul yang kontroversial itu.

“Sikap Gus Dur membela Inul dari kecaman orang-orang yang mengaku Islam adalah cerminan sikap Rasulullah. Rasulullah gak perlu pake kekerasan ketika mendidik umatnya yang masih belum tau. Karna Gus Dur tau betul Inul itu belum begitu tau agama, maka dia mengayominya dengan cara yang kalem. Menunjukkan begitulah Islam. Mengajak berpikir, tak boleh keras, dan sangat menghormati perbedaan pemikiran,” (hlm. 39).

Sikap bijak Maia ini, bagi penulis, melebihi kadar usianya. Bahkan melampaui penentang Inul, yang sebagiannya, terang benderang tidak menunjukkan kematangan usia mereka dalam merespon isu yang sama. Mereka tak mampu menyampaikan perbedaan pendapat dengan santun. Cuma berani unjuk kekuatan saja layaknya preman (berjubah).

Lain lagi soal korupsi. Maia prihatin betul dengan korupsi dan pengadilan yang tak kunjung unjuk gigi. Maia salut dengan gaya Gus Dur yang potong kompas demi mengamputasi budaya korupsi secara radikal.

“Korupsi udah nggak mau tau tempat lagi. Ini mungkin satu hal yang yang menyebabkan negeri ini menjadi hopeless untuk bisa bersih...pengadilan juga udah banyak yang punya dwifungsi. So..biar pengadilan jadi layak disebut adil dan terpercaya, kira-kira gimana yah caranya? Nggak ada harapan banget nih. Kuncinya emang pemimpin mesti tegas dan bersih. Berani dan tanggung jawab dunia wal akherat. Kaya’ Gus Dur ajalah. Santai gitu. Tinggal pecat sana pecat sini. Asyik tuh. Nggak bertele-tele dan habis. Meski beresiko tinggi, ya emang begitu kan resikonya jadi orang jadi orang nomor satu? Begitu kan resikonya seorang pembela kebenaran?” (h. 52).

Mendengar ini, para politikus, aparat penegak hukum, dan tentu saja para koruptor itu sendiri selayaknya merenung. Atau malah malu. Sebab, remaja yang masih bau kencur saja tahu dan bisa memilih yang terbaik; bahwa kebenaran dan kebersihan mestilah dijadikan pegangan hidup seperti dipraktikkan Gus Dur. Bukan berlindung di balik kebohongan atau justru menggadaikan diri dengan kekuasaan. Padahal, mereka tahu perkara ini lebih dalam dan lebih banyak ketimbang seorang remaja seumuran Maia. Tapi mereka tak mau melakukannya.

Buku setebal 98 hlm ini layak baca untuk semua kalangan. Diksinya renyah—namun tak sampai jatuh pada kegenitan remaja yang kadangkala membikin tulisan menjadi barisan kosakata prokem yang tak ada isi sama sekali.

Meski begitu, ia tetaplah buku bergizi tinggi. Ini dapat dilihat dari rujukan pendapat Maia; mulai dari puisi-puisi Gus Mus, cerita-cerita Abu Nawas, Sirah Nabawiyah sampai kaidah-kaidah fiqhiyyah yang lumayan rumit.

Buku ini gue banget buat para teman remaja. Para orang tua tidak perlu khawatir membaca buku ini. Dijamin tidak akan merasa digurui. Justru mereka dijadikan teman bicara yang setara. Wallahu A’lam.

7 komentar:

oza mengatakan...

turut berduka cita atas kekagumanmu terhadap gus dur yang mengakibatkan buku ini terbit. alasan-alasan yang dikemukan atas tindakan Gus Dur hanyalah sekedar alasan yang dibuat2...yang anak SD pun juga bisa membuatnya ketika melakukan sesuatu yang menyimpang.

yang membedakannya hanyalah Gus Dur ["kebetulan"] anak dari KH Wahid Hasyim & cucu dari KH Hasyim Asy'ari (turut berduka cita juga untuk mereka berdua & gw yakin mereka bakal kecewa berat kalo tahu keturunannya kayak bgitu) sehingga bisa menduduki posisi puncak di NU & masyarakat agak segan untuk berkomentar keras terhadap dirinya.

Gus Dur ["kebetulan"] juga berusaha mencitrakan diri sebagai kiai yang humoris, sehingga jika melakukan sesuatu yang bertentangan dengan nilai agama [secara disengaja], dia akan berusaha menampilkannya sebagai suatu candaan (cth kasus: AlQuran=kitab porno).

Apakah Rasulullah pernah membela kemaksiatan, sis? Mengapa Gus Dur MEMBELA Inul jika yang dicontoh adalah Rasulullah? Jika Gus Dur "beres", yang dia lakukan adalah menasehati Inul untuk tidak melanjutkan joget ngebornya, bukan malah mendukung untuk meneruskan what-so-called-mencari-nafkah-dengan-jalan-yang-gak-dibenarkan-oleh-agama. apa ada hak seseorang untuk melakukan sebuah kemaksiatan?

hukuman mati bagi murtadin...siapa sih Gus Dur yang pengen menggugat syariah ini? LA IKRAHA FI AL-DIN = gw gak akan maksa orang kristen untuk masuk islam, gw gak akan maksa orang budha untuk masuk islam, gw gak akan maksa orang yahudi, zoroaster (kalo masih ada), hindu, konghucu, dlsb untuk masuk Islam. tapi ketika terjadi penyimpangan di INTERNAL ummat islam sendiri, gw bakal bertindak untuk menanggapi hal itu. Al-Qur'an & Hadits menjadi pedomannya. sape bilang MUI yang berhak memberikan cap sesat kepada golongan di luar mainstream? Al-Qur'an & Hadits kok yang memberikan cap sesat!

hihihi...ketika umat kristiani di Ambon membantai umat Islam di sana (dimulai dari peristiwa IDUL FITRI BERDARAH '99), Gus Dur tidak memberikan tanggapan. tetapi ketika Laskar Jihad datang ke sana untuk membela umat Islam yang teraniaya, Gus Dur segera kebakaran jenggot. TANYA KENAPA?

oza mengatakan...

sis, fanatik terhadap Islam gak ada masalah, karena landasannya Al-Qur'an & Hadits. tapi ketika sudah fanatik terhadap sesuatu selain itu, dalam hal ini terhadap Gus Dur (taklid niiiih), hal tersebut dapat menutupi mata hati untuk melihat sesuatu secara objektif.

semoga mata hati anda semakin terasah tajam & menemukan kebenaran yang hakiki, tidak seperti Gus Dur yang mata hatinya serabun mata fisiknya.

Peace and Unity of Indonesia mengatakan...

Oza....

anda nampak hebat, berkuasa dan pemarah sekali.
Namun tidak demikian seharusnya menghakimi dengan pembenaran diri anda sendiri.

kutipkan ini untuk bahan refleksi kita bersama. Hilangkan iri,amarah dan dengki dari hatimu.

http://www.gusdur.net/Pemikiran/Detail/?id=96/hl=id/Surga_Dan_Agama

Pemikiran
Selasa, 08 Februari 2011 12:23
Budaya
Surga dan Agama
Oleh: Abdurrahman Wahid
Beberapa hari setelah tertembaknya Dr. Azahari di Batu, Jawa Timur, Habib Rizieq menyatakan (dalam hal ini membenarkan ungkapan) bahwa pelaku terorisme di Indonesia itu akan masuk surga. Ia menyampaikan rasa simpati dan menilainya sebagai orang yang mati syahid. Pernyataan ini seolah memperkuat pendapat seorang teroris yang direkam dalam kepingan CD, mati dalam pemboman di Bali akan masuk surga. Ini tentu karena si teroris yakin akan hal itu. Dengan demikian jelas bahwa motif tindakannya dianggap melaksanakan ajaran agama Islam. Ungkapan ini sudah tentu dalam membenarkan dan menyetujui tindak kekerasan atas nama Islam. Benarkah demikian?

Peace and Unity of Indonesia mengatakan...

Pertama-tama, harus disadari bahwa tindak teroristik adalah akibat dari tidak efektifnya cara-cara lain untuk ‘menghadang', apa yang dianggap sang teroris sebagai, hal yang melemahkan Islam. Bentuk tindakan itu dapat saja berbeda-beda namun intinya sama, yaitu anggapan bahwa tanpa kekerasan agama Islam akan ‘dikalahkan' oleh hal-hal lain, termasuk modernisasi ‘model Barat'. Tak disadari para teroris, bahwa respon mereka bukan sesuatu yang murni dari agama Islam itu sendiri. Bukankah dalam tindakannya para teroris juga menggunakan penemuan-penemuan dari Barat? Ini terbukti dari berbagai alat yang digunakan, seperti perkakas komunikasi dan alat peledak. Bukankah ini menunjukkan hipokritas yang luar biasa dalam memandang kehidupan?

Peace and Unity of Indonesia mengatakan...

Demikian kuat keyakinan itu tertanam dalam hati para teroris, sehingga sebagian mereka bersedia mengorbankan jiwa sendiri dengan melakukan bom bunuh diri. Selain itu juga karena adanya orang-orang yang mendukung gerakan teroris itu. Patutlah dari sini kita memeriksa kebenaran pendapat itu. Tanpa pendekatan itu, tinjauan kita akan dianggap sebagai ‘buatan musuh'. Kita harus melihat perkembangan sejarah Islam yang terkait dengan hal ini sebagai perbandingan.
Dalam sejarah Islam yang panjang, ada tiga kaum dengan pendapat penting yang berkembang. Kaum Khawarij menganggap penolakan terhadap setiap penyimpangan sebagai kewajiban agama. Dari mereka inilah lahir para teroris yang melakukan pembunuhan demi pembunuhan atas orang-orang yang mereka anggap meninggalkan agama. Lalu ada kaum Mu'tazilah, yang menganggap bahwa kemerdekaan manusia untuk mengambil pendapat sendiri tanpa batas dalam ajaran Islam. Mereka menilai adanya pembatasan apapun akan mengurangi kebebasan manusia. Di antara dua pendapat yang saling berbeda itu, ada kaum Sunni yang berpandangan bahwa kaum muslimin memiliki kebebasan dengan batas-batas yang jelas, yaitu tidak dipekenankan melakukan tindakan yang diharamkan oleh ajaran agama Islam, salah satunya bunuh diri.
Mayoritas kaum muslim di seluruh dunia mengikuti garis Sunni ini dan menggunakan paham itu sebagai batasan perlawanan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi. Karenanya, penulis yakin bahwa orang yang membenarkan terorisme itu berjumlah sangat kecil. Itulah sebabnya, dalam sebuah keterangan pers penulis menyatakan bahwa Islam garis keras seperti Front Pembela Islam (FPI) yang dipimpin Habib Rizieq, adalah kelompok kecil dengan pengaruh sangat terbatas. Ini adalah kenyataan sejarah yang tidak dapat diabaikan sama sekali. Akibat dari anggapan sebaliknya, sudah dapat dilihat dari sikap resmi aparat penegak hukum kita yang terkesan tidak mau mengambil tindakan-tindakan tegas terhadap mereka itu.
Kita perlu mendudukkan persoalannya pada rel yang wajar. Pertama, pandangan para teroris itu bukanlah pandangan umat Islam yang sebenarnya. Ia hanyalah pandangan sejumlah orang yang salah bersikap melihat sejumlah tantangan yang dihadapi ajaran agama Islam. Kedua, pandangan itu sendiri bukanlah pendapat mayoritas. Selain itu, terjadi kesalahan pandangan bahwa hubungan antara agama dan kekuasaan akan menguntungkan pihak agama. Padahal sudah jelas, dari proses itu sebuah agama akan menjadi alat pengukuh dan pemelihara kekuasaan. Jika sudah demikian agama akan kehilangan peran yang lebih besar, yaitu inspirasi bagi pengembangan kemanusiaan. Selain itu juga akan mengurangi efektivitas peranan agama sebagai pembawa kesejahteraan.

Peace and Unity of Indonesia mengatakan...

Agama Islam dalam al-Qur'an al-Karim memerintahkan kaum muslimin untuk menegakkan keadilan, sesuai dengan firman Allah "Wahai orang-orang yang beriman, tegakkan keadilan" (Ya ayyuha al-ladzina amanu kunu qawwamina bi al-qisthi). Jadi yang diperintahkan bukanlah berbuat keras, tetapi senantiasa bersikap adil dalam segala hal. Begitu juga dalam kitab suci banyak ayat yang secara eksplisit memerintahkan kaum muslimin agar senantiasa bersabar. Tidak lupa pula, selalu ada perintah untuk memaafkan lawan-lawan kita. Jadi sikap ‘lunak' dan moderat bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Bahkan sebaliknya sikap terlalu keras itulah yang ‘keluar' dari batasan-batasan ajaran agama.
Berbeda dari klaim para teroris, Islam justru mengakui adanya perbedaan-perbedaan dalam hidup kita. Al-Qur'an menyatakan "Sesungguhnya Ku-ciptakan kalian sebagai lelaki dan perempuan dan Ku-jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa untuk saling mengenal" (Inna khalaqnakum min dzakarin wa untsa wa ja'alnakum syu'uban wa qabaila li ta'arafu). Dari perbedaan itu, Allah Swt memerintahkan "berpeganglah kalian pada tali Allah dan janganlah terpecah belah" (wa i'tashimu bi habl Allah jami'an wa la tafarraqu). Berbagai perkumpulan hanyalah menandai adanya kemajemukan/pluralitas di kalangan kaum muslimin, sedangkan aksi para teroris itu adalah sumber perpecahan umat manusia.
Kebetulan, negara kita berpegang kepada ungkapan Empu Tantular ‘Bhinneka Tunggal Ika' (berbeda-beda namun tetap satu juga). Kaum muslimin di negeri ini telah sepakat untuk menerima adanya negara yang bukan negara Islam. Ia dicapai dengan susah payah melalui cara-cara damai. Jadi patutlah hal ini dipertahankan oleh kaum muslimin. Karena itu, kita menolak terorisme dalam segala bentuk. Jika mereka yang menyimpang belum tentu masuk surga, apalagi mereka yang memberikan ‘rekomendasi' untuk itu.
Jakarta, 23 November 2005

Peace and Unity of Indonesia mengatakan...

Cahaya di atas cahaya;
Allah membimbing siapa pun yang Dia kehendaki menuju Cahaya-Nya.
~ ayat al-nur (“Ayat Cahaya”),
al-Quran, 24:35

Apakah cahaya =pedang atau golok ? ... jika kita bersinar, maka orang lain juga akan ikut dan tertarik kepada kita.